Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Atresia Ani
TUGAS KEPERAWATAN ANAK
ASKEP ANAK DENGAN ATRESIA ANI
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
PRODI DIII KEPERAWATAN MAGELANG
2014/2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Atresia ani adalah tidak lengkapnya
perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal
(Suriadi & Yuliani, R, 2001).Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan
bersamaan dengan penyakit atresia ani, namun hanya 2 kelainan yang memiliki
angka yang cukup signifikan yakni down syndrome (5-10%) dan kelainan urologi
(3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti
refluks vesikoureter, hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3
kasus) (Swenson dkk, 1990).
Insiden penyakit atresia ani adalah 1
dalam 5000 kelahiran hidup, dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan
tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400
bayi dengan penyakit atresia ani. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit
atresia ani yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta
dengan rasio laki-laki: perempuan adalah 4:1. Insidensi ini dipengaruhi oleh
group etnik, untuk Afrika dan Amerika adalah 2,1 dalam 10.000 kelahiran,
Caucassian 1,5 dalam 10.000 kelahiran dan Asia 2,8 dalam 10.000 kelahiran
(Holschneider dan Ure, 2005; Kartono,1993). Menurut catatan Swenson, 81,1 %
dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown
menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam
24 keluarga).
Atresia ani dapat
mengakibatkan asidosis hiperkloremia, infeksi saluran kemih yang bisa
berkepanjangan, kerusakan uretra (akibat prosedur bedah), komplikasi jangka
panjang yaitu eversi mukosa anal, stenosis (akibat konstriksi jaringan perut
dianastomosis), masalah atau k elambatan yang berhubungan dengan toilet
training, inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi), prolaps mukosa anorektal
dan fistula (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi). Masalah
tersebut dapat diatasi dengan peran aktif petugas kesehatan baik
berupa promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Hal ini dilakukan
dengan pendidikan kesehatan, pencegahan, pengobatan sesuai
program dan memotivasi klien agar cepat pulih sehingga dapat meningkatkan
derajat kesehatan secara optimal.
B. Tujuan
1. Tujuan
Umum
Diharapkan mahasiswi Akademi Keperawatan mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada neonatus sakit dengan atresia ani secara menyeluruh dan terdapat keterpaduan dengan pendekatan manajement keperawatan.
Diharapkan mahasiswi Akademi Keperawatan mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada neonatus sakit dengan atresia ani secara menyeluruh dan terdapat keterpaduan dengan pendekatan manajement keperawatan.
2. Tujuan
Khusus
Diharapkan mahasiswi Akademi Keperawatan mampu :
Diharapkan mahasiswi Akademi Keperawatan mampu :
a. Mengetahui
pengertian atresia ani
b. Mengetahui
macam-macam atresia ani
c. Mengetahui
etiologi atresia ani
d. Mengetahui
patologi atresia ani
e. Mengetahui
pemeriksaan penunjang atresia ani
f. Mengetahui
penatalaksanaan atresia ani
g. Mengetahui
asuhan keperawatan atresia ani pada anak
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
A. Pengertian
1. Istilah
atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya tidak ada
dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran,
atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang
normal.
2. Atresia
ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi
anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002).
3. Atresia
ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang
berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001).
4. Atresia
ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran
anus (Wong, D. L, 2003).
5. Atresia
ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau
tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi & Yuliani, R, 2001).
Dari beberapa uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa atresia ani adalah suatu kelainan bawaan dimana tidak
terdapatnya lubang atau saluran anus.
B. Macam-macam
a. Anal
stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat
keluar.
b. Membranosus
atresia adalah terdapat membran pada anus.
c. Anal
agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan anus.
d. Rectal
atresia adalah tidak memiliki rektum.
e. Anus
imperforata dan ujung rektum buntu terletak pada berbagai jarak dari
peritoneum.
f. Lubang
anus yang terpisah dengan ujung rektum yang buntu.
Pasien bisa diklasifikasikan lebih
lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi, yaitu :
a. Anomali
rendah / infralevator
Rektum mempunyai jalur
desenden normal melalui otot puborektalis, terdapat sfingter internal dan
eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan
dengan saluran genitourinarius.
b. Anomali
intermediet
Rektum berada pada atau
di bawah tingkat otot puborectalis, lesung anal dan sfingter eksternal berada
pada posisi yang normal.
c. Anomali
tinggi / supralevator
Ujung rectum di atas
otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan
dengan fistula genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina
(perempuan). Jarak antara ujung rectum buntu sampai kulit perineum lebih dari 1
cm.
Klasifikasi menurut letaknya :
a. Tinggi
(supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M. puborektalis)
dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm.
Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau
saluran genital.
b. Intermediate
: rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak menembusnya.
c. Rendah
: rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung
rektum paling jauh 1 cm.
C. Etiologi
Tanda Gejala (Ngastiyah, 2005)
Tanda dan gejala yang sering timbul,
yaitu :
a. Bayi
muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi
mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
b. Pada
bayi wanita sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi
buang air besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak
pernah rektourinarius.
c. Sedang
pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di
kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal.
d. Mekonium
tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran. (Suriadi,2001).
e. Tidak
dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
f. Mekonium
keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
g. Perut
kembung 4-8 jam setelah lahir.
h. Bayi
muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
i.
Tidak ditemukan anus,
kemungkinan ada fistula(Adele,1996)
j.
Bila ada fistula pada
perineum(mekoneum +) kemungkinan letak rendah
k. Bayi
tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal,
pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol
Komplikasi
yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain:
a. Asidosis
hiperkloremia.
b. Infeksi
saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c. Kerusakan
uretra (akibat prosedur bedah).
d. Komplikasi
jangka panjang yaitu eversi mukosa anal, stenosis (akibat konstriksi jaringan
perut dianastomosis).
e. Masalah
atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
f. Inkontinensia
(akibat stenosis awal atau impaksi).
g. Prolaps
mukosa anorektal.
h. Fistula
(karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan dan infeksi).
(Ngastiyah, 2005).
D. Patologi
Perjalanan penyakit
Atresia ani terjadi akibat kegagalan
penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional. Anus dan rektum
berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang
berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinaria dan struktur
anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal
anorektal. Terjadi atresia ani karena tidak ada kelengkapan migrasi dan
perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam perkembangan fetal.
Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan
abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar
melalui anus menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami
obstruksi.
Manifestasi klinis diakibatkan
adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi
abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin
mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke arah traktus
urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan
terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan
fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki
biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke
prostate. (rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju ke uretra
(rektourethralis).
E. Pemeriksaan
Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering
diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
a. Pemeriksaan
radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
obstruksi intestinal.
b. Sinar
X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan
keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari
sfingternya.
c. Ultrasound
terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ
internal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversible
seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
d. CT
Scan
Digunakan
untuk menentukan lesi.
e. Pyelografi
intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises
dan ureter.
f. Pemeriksaan
fisik rektum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok
dubur dengan menggunakan selang atau jari.
g. Rontgenogram
abdomen dan pelvis
Juga bias digunakan untuk mengkonfirmasi
adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.
F.
Penatalaksanaan
1. Pembuatan
kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan
yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan
feses. Pembuatan lubang biasanya sementara atau permanen dari usus besar atau
colon iliaka. Untuk anomali tinggi, dilakukan kolostomi beberapa hari setelah
lahir. Kemudian dilanjutkan dengan operasi "abdominal pull-through"
2. PSARP
(Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan
umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi
waktu pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini
juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badannya dan bertambah baik status
nutrisinya.
3. Tutup
kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani.
Biasanya beberapa hari setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus.
Pertama, BAB akan sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang
frekuensinya dan agak padat.
4. Dilakukan
dilatasi setrap hari dengan kateter uretra, dilatasi hegar, atau speculum
5. Melakukan
operasi anapelasti perineum yang kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus
yang baru pada kelainan tipe dua.
6. Pada
kelainan tipe tiga dilakukan pembedahan rekonstruktif melalui anoproktoplasti
pada masa neonates.
7. Melakukan
pembedahan rekonstruktif ;
a. Operasi
abdominoperineum pada usia (1 tahun)
b. Operasi
anorektoplasti sagital posterior pada usia (8-2 bulan)
c. Pendekatan
sakrum setelah bayi berumur (6-9 bulan)
8. Penanganan
pasca operasi
a. Memberikan
antibiotic secara iv selama 3 hari
b. Memberikan
salep antibiotika selama 8-10 hari
G. Asuhan
keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata
klien.
b. Riwayat
keperawatan.
1) Riwayat
keperawatan/ kesehatan sekarang.
2) Riwayat
kesehatan masa lalu.
c. Riwayat
psikologis.
Koping
keluarga dalam menghadapi masalah.
d. Riwayat
tumbuh kembang anak.
1) BB
lahir abnormal.
2) Kemampuan
motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang pernah mengalami
trauma saat sakit.
3) Sakit
kehamilan mengalami infeksi intrapartal.
4) Sakit
kehamilan tidak keluar mekonium.
e. Riwayat
sosial.
f. Pemeriksaan
fisik.
g. Pemeriksaan
penunjang
1) Pemeriksaan
radiologis
Dilakukan
untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2) Sinar
X terhadap abdomen
Dilakukan
untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3) Ultrasound
terhadap abdomen
Digunakan
untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
4) CT
Scan
Digunakan
untuk menentukan lesi.
5) Pyelografi
intra vena
Digunakan
untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6) Pemeriksaan
fisik rectum
Kepatenan
rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
7) Rontgenogram
abdomen dan pelvis
Juga
bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan
traktus urinarius.
2. Diagnosa
keperawatan
Diagnosa
preoperasi:
a. Konstipasi
berhubungan dengan aganglion.
b. Resiko
kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat, muntah.
c. Cemas
orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur
perawatan.
Diagnosa postoperasi:
a. Nyeri
berhubungan dengan trauma pembedahan/ insisi luka.
b. Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari kolostomi.
c. Resiko
infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme sekunder terhadap luka
kolostomi.
d. Perubahan
pola eliminasi berhubungan dengan kolostomi.
e. Kurang
pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
3. Perencanaan
keperawatan
Perencanaan
keperawatan pada diagnosa preoperasi:
a. Konstipasi
berhubungan dengan aganglion.
Tujuan:
Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.
Kriteria
hasil:
1) Penurunan
distensi abdomen.
2) Meningkatnya
kenyamanan.
Intervensi:
1) Lakukan
enema atau irigasi rektal.
2) Kaji
bising usus dan abdomen.
3) Ukur
lingkar abdomen
.
b. Resiko
kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake, muntah.
Tujuan:
Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.
Kriteria
hasil:
1) Output
urin 1-2 ml/ Kg/ Jam.
2) Capillary
refill 3-5 detik.
3) Turgor
kulit baik.
4) Membran
mukosa lembab.
Intervensi:
1) Pantau
TTV.
2) Monitor
intake-output cairan.
3) Lakukan
pemasangan infus dan berikan cairan IV.
c. Cemas
orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur
perawatan.
Tujuan:
Kecemasan orang tua dapat berkurang.
Kriteria
hasil:
Klien
tidak lemas.
Intervensi:
1) Jelaskan
dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang anatomi dan fisiologi
saluran pencernaan normal.
2) Beri
jadwal studi diagnosa pada orang tua.
3) Beri
informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi.
Perencanaan keperawatan pada diagnosa
postoperasi:
a. Nyeri
berhubungan dengan teruma pembedahan/ insisi luka.
Tujuan: Rasa nyeri
teratasi/ berkurang.
Kriteria hasil:
1) Klien
tampak tenang dan merasa nyaman.
2) Klien
tidak meringis kesakitan.
Intervensi:
1) Kaji
skala nyeri.
2) Kaji
lokasi, waktu dan intensitas nyeri.
3) Berikan
lingkungan yang tenang.
4) Atur
posisi klien.
5) Kolaborasi
dalam pemberian antibiotik.
b. Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari kolostomi.
Tujuan: Tidak ditemukan
tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
Kriteria hasil:
1) Penyembuhan
luka tepat waktu.
2) Tidak
terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti.
Intervensi:
1) Kaji
area stoma.
2) Anjurkan
pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada area stoma.
3) Tanyakan
apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.
4) Kosongkan
kantong kolostomi setelah terisi ¼ atau ⅓ kantong.
5) Lakukan
perawatan luka kolostomi.
c. Resiko
infeksi berhubungan masuknya mikroorganisme sekunder terhadap luka kolostomi.
Tujuan: Tidak
terjadi infeksi.
Kriteria hasil:
1) Tidak
ada tanda-tanda infeksi.
2) TTV
normal.
3) Leukosit
normal.
Intervensi:
1) Kaji
adanya tanda-tanda infeksi.
2) Pantau
TTV.
3) Pantau
hasil laboratorium.
4) Kolaborasi
dalam pemeriksaan laboratorium.
5) Kolaborasi
dalam pemberian antibiotik.
d. Perubahan
eliminasi berhubungan kolostomi.
Tujuan: Gangguan
pola eliminasi teratasi.
Kriteria hasil:
1) BAB
normal.
2) Frekuensi
buang air besar 1-2x/ hari.
Intervensi:
1) Kaji
pola dan kebiasaan buang air besar.
2) Kaji
faktor penyebab konstipasi/ diare.
3) Anjurkan
orang tua klien untuk memberi minum banyak dan mengandung tinggi serat jika
konstipasi.
4) Lakukan
perawatan kolostomi.
e. Kurang
pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
Tujuan: Pasien dan
keluarga memahami perawatan di rumah.
Kriteria hasil:
Menunjukkan kemampuan
untuk memberikan perawatan kolostomi dirumah.
Intervensi:
1) Ajarkan
perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan sampai mereka dapat
melakukan perawatan.
2) Ajarkan
untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu dilaporkan perawat.
3) Ajarkan
bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan melakukan dilatasi pada anal
secara tepat.
4) Ajarkan
cara perawatan luka yang tepat.
5) Latih
pasien untuk kebiasaan defekasi.
6) Ajarkan
pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat).
BAB III
KESIMPULAN
Atresia ani merupakan kelainan bawaan
(kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Wong, D. L, 2003).
Atresia ani adalah kelainan kongenital
yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya
(Betz, C. L and Sowden, L. A, 2002).
Etiologi secara pasti atresia ani belum
diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh
gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan
embriogenik. Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain:
1. Putusnya
saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur.
2. Kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
3. Adanya
gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian
distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai
keenam usia kehamilan.
4. Berkaitan
dengan sindrom down.
5. Atresia
ani adalah suatu kelainan bawaan
Lampiran
Gambar atresia ani
Anal stenosis
Membranosus atresia
ANAL AGENESIS
Rectal atresia
Anus impeforata
DAFTAR
PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar